Rupiah kembali terdepresiasi pada sesi akhir perdagangan di hari Selasa (15/10). Data yang dirilis oleh Bloomberg menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah melemah 0,15% dalam sehari, mencapai angka Rp 15.588 per dolar AS. Meskipun demikian, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa rupiah justru mengalami penguatan sebesar 0,16% secara harian ke level Rp 15.555 per dolar AS.
Menurut Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, Nanang Wahyudin, pada hari Selasa tersebut, rupiah menunjukkan pelemahan yang terbatas terhadap dolar AS. Di awal perdagangan, rupiah sempat mengalami penguatan, terutama setelah pemanggilan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai salah satu kandidat dalam kabinet Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang.
Penyebab Pelemahan Rupiah
Meskipun ada moment positif di awal perdagangan, rupiah kembali mengalami depresiasi di akhir sesi. Hal ini disebabkan oleh laporan kinerja perdagangan Indonesia pada bulan September yang menunjukkan adanya potensi pelebaran defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2024.
Menurut Nanang, kondisi ini dipicu oleh lesunya ekspor yang mencerminkan permintaan global yang masih belum pulih. Di sisi lain, kinerja impor juga semakin anjlok, yang mencerminkan dampak dari lesunya permintaan dunia usaha dan daya beli masyarakat. Dalam tiga bulan terakhir, sektor manufaktur Indonesia juga mengalami kontraksi.
Kinerja Neraca Dagang dan Defisit Transaksi
Meskipun bulan September menunjukkan surplus neraca dagang yang lebih baik dari perkiraan pasar, pencapaian ini tidak mampu menutupi penurunan tajam yang terjadi secara kuartalan. Pada kuartal III-2024, nilai surplus neraca dagang tercatat sebesar US$ 6,53 miliar, menurun dibandingkan dengan surplus kuartal II-2024 yang mencapai US$ 8,04 miliar.
Lebih jauh, Nanang mencatat bahwa angka-angka tersebut menunjukkan adanya pelebaran defisit transaksi berjalan yang kini mencapai US$ 4,25 miliar. Angka ini merupakan penurunan 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal III, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan hanya 0,88% dari PDB pada kuartal sebelumnya.
Proyeksi Ke Depan
Melihat kondisi yang ada, para pengamat ekonomi memperkirakan bahwa selama permintaan global tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan, rupiah akan tetap berada dalam tekanan. Ketidakpastian ini, ditambah dengan kondisi domestik yang dipengaruhi oleh kinerja industri dan daya beli masyarakat, menciptakan tantangan tersendiri bagi stabilitas nilai tukar rupiah ke depannya.
Kebijakan Bank Indonesia
Bank Indonesia berusaha untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan dapat dilihat dari berbagai langkah yang telah diambil. Langkah-langkah tersebut antara lain adalah penyesuaian suku bunga dan intervensi pasar valuta asing jika diperlukan untuk merespons volatilitas pasar.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan akan ada sinyal positif ke pasar serta meningkatkan kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia, yang pada gilirannya dapat mendukung penguatan rupiah di masa yang akan datang.
Kata Penutup
Kondisi nilai tukar rupiah yang fluktuatif ini merupakan siklus yang umum terjadi di banyak negara berkembang. Pelaku pasar dan investor diharapkan untuk terus memantau perkembangan ini, terutama dengan adanya perubahan kebijakan domestik dan global yang dapat berbenturan dengan kondisi pasar saat ini.
Seiring dengan semakin mendekatnya pelantikan kabinet baru, banyak yang berharap bahwa kestabilan ekonomi bisa kembali terjaga dan mendukung nilai tukar rupiah menuju tren yang lebih positif.