Jakarta - Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini menjadi sorotan masyarakat setelah penangkapan mantan Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA, Zarof Ricar, yang diduga terlibat dalam praktik makelar kasus atau markus. Zarof Ricar yang menjabat antara tahun 2012 hingga 2022, ditangkap oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam kasus dugaan suap yang melibatkan hakim dan pengacara terkait penanganan kasasi terpidana Ronald Tannur.
Tidak lama setelah penangkapan tersebut, juru bicara MA, Yanto, menyatakan bahwa lembaga tersebut tidak dapat memberikan tanggapan mengenai kasus ini. "Kalau minta tanggapan, ya enggak ada tanggapan, karena yang bersangkutan sudah pensiun tiga tahun yang lalu. Jadi, bukan lagi bagian dari lembaga," ujarnya kepada wartawan pada 26 Oktober 2024.
Dugaan Suap dan Pemufakatan Jahat
Kejaksaan Agung mulai menyelidiki dugaan suap setelah menangkap Zarof Ricar dan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat. Zarof Ricar ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan setelah ditemukan bukti pemufakatan jahat antara dirinya dan Lisa untuk melancarkan upaya kasasi yang dinilai mencederai sistem peradilan.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, pemufakatan antara Zarof dan Lisa terjadi dengan memberikan uang sebesar Rp 5 miliar untuk mempengaruhi keputusan hakim di MA. Sebastianalanya, Lisa menjanjikan fee sebesar Rp 1 miliar untuk Zarof atas jasanya dalam mengupayakan agar Ronald Tannur dinyatakan tidak bersalah.
Rincian Dugaan Suap
Qohar merinci bahwa uang sebesar Rp 5 miliar tersebut direncanakan akan diberikan kepada tiga hakim agung yang mengadili perkara Ronald Tannur, yang mempunyai inisial S, A, dan S. Meskipun demikian, pihak Kejaksaan masih mendalami kebenaran informasi tersebut, termasuk apakah uang tersebut sudah diserahkan kepada hakim yang bersangkutan.
"Belum (menyerahkan uang, red) namanya saja pemufakatan jahat. Kami masih mendalami kebenaran dari pernyataan Zarof mengenai pertemuannya dengan seorang hakim di MA," jelas Qohar.
Penyitaan Aset dan Temuan yang Mengejutkan
Pada penangkapan tersebut, penyidik Kejaksaan Agung menemukan barang bukti berupa uang tunai yang sangat signifikan, yakni sebesar Rp 920.912.303.714 atau hampir Rp 1 triliun. Uang tersebut ditemukan saat penggeledahan di kediaman Zarof di Senayan, Jakarta dan hotelnya di Bali. Selain itu, penyidik juga menemukan emas Antam seberat 51 kilogram.
Qohar menambahkan bahwa Zarof, dalam pemeriksaan, mengaku bahwa uang tersebut berasal dari pengurusan berbagai perkara di MA, namun dia mengaku lupa jumlah pasti perkara yang pernah ditanganinya. "Saking banyaknya perkara yang dimaksud, beliau lupa berapa orang yang pernah diurusnya," ucap Qohar.
Implikasi Terhadap Sistem Peradilan
Kasus ini mengundang perhatian serius berbagai kalangan, termasuk Komisi III DPR RI, yang bertanggung jawab atas hukum dan hak asasi manusia. Beberapa anggota Komisi III meminta agar MA segera membersihkan sistem peradilannya dari praktik-praktik kolusi dan korupsi.
Sebagai respon, MA diharapkan agar mampu melakukan langkah-langkah preventif dan memastikan bahwa tidak ada lagi kasus serupa di masa mendatang. Penting untuk menjaga integritas lembaga peradilan agar kepercayaannya tetap terjaga di mata publik.
Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas
Di tengah kasus ini, muncul seruan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan Indonesia. Evaluasi menyeluruh terhadap praktik-praktik yang dapat menciptakan celah pada pencarian keadilan sangatlah diperlukan. Regulator harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperketat pengawasan terhadap setiap pemain dalam ekosistem hukum.
Selain dari aspek hukum, kasus ini juga menyoroti perlunya kesadaran publik mengenai hak-hak hukum mereka. Edukasi mengenai sistem hukum dan pentingnya peran masyarakat dalam mencegah oknum-oknum menyalahgunakan wewenang harus terus digiatkan.
Kesimpulan
Kasus dugaan suap yang melibatkan mantan pejabat MA, Zarof Ricar, adalah suatu pengingat akan pentingnya sistem peradilan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi. Penegakan hukum yang tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam praktik ilegal merupakan langkah krusial untuk menjaga marwah lembaga peradilan. Kejaksaan Agung harus melanjutkan proses hukum dengan transparansi agar kepercayaan masyarakat dapat terpelihara.