Wawasan Terkini

Dapatkan Wawasan Terkini Setiap Hari

Kesopanan Terdakwa Tak Bisa Ringankan Putusan Pidana

Kesopanan Terdakwa Tak Bisa Ringankan Putusan Pidana

by Andika Pratama at 30 Dec 2024 02:04

Pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta baru-baru ini menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Harvey Moeis selama 6 tahun dan 6 bulan. Dalam kasus ini, Harvey dianggap bersalah atas korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah, khususnya di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. pada periode 2015 hingga 2022.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Arief Amrullah, memberikan tanggapan tegas terhadap keputusan majelis hakim yang mempertimbangkan kesopanan terdakwa sebagai hal yang meringankan hukuman. Menurut Prof. Arief, kesopanan di pengadilan tidak seharusnya menjadi faktor yang memengaruhi putusan. "Siapa pun pasti sopan. Coba saja kita berhadapan dengan misalnya hakim, pasti akan sopan," ujarnya.

Kritik terhadap Pertimbangan Hakim

Prof. Arief menjelaskan bahwa di ruang sidang, hal yang sering terjadi adalah semua terdakwa berusaha untuk tampil rapi dan sopan. "Masak pakaian compang-camping di ruang sidang?" tegasnya. Dia menambahkan bahwa peluang bagi seorang terdakwa untuk berperilaku tidak sopan di hadapan majelis hakim adalah sangat kecil. "Kecil kemungkinan bagi tersangka untuk mencak-mencak atau mengamuk di hadapan majelis hakim. Di situ berkata-kata yang tidak senonoh kan enggak mungkin," tambahnya.

Pada intinya, Prof. Arief menekankan bahwa kesopanan adalah norma yang umum di kalangan orang-orang yang berada dalam situasi formal seperti di pengadilan, dan seharusnya tidak dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan pidana. Menurutnya, lebih penting untuk menilai substansi kejahatan itu sendiri dan alasan di balik tindakan korupsi yang dilakukan.

Hukuman dan Alasan di Balik Putusan

Majelis Hakim yang menangani kasus Harvey Moeis memutuskan hukuman berdasarkan berbagai pertimbangan. Beberapa faktor yang memberatkan dalam kasus ini mencakup fakta bahwa perbuatan Harvey dilakukan saat negara tengah gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi. Namun, hal-hal yang dianggap meringankan antara lain sikap sopan Harvey selama proses persidangan, adanya tanggungan keluarga yang harus dipenuhi, dan fakta bahwa ia belum pernah dihukum sebelumnya.

Hakim Ketua Eko Aryanto menyatakan bahwa dalam mempertimbangkan hukuman, mereka harus mencermati keseluruhan situasi dan kondisi terdakwa. "Hal meringankan seperti ini seharusnya dipastikan bukan suatu hal yang dapat memicu persepsi publik yang salah tentang proses keadilan," ujar Eko.

Proses Hukum di Indonesia dan Persepsi Publik

Kasus ini juga mencerminkan dinamika proses hukum di Indonesia, terutama di bidang korupsi. Dengan semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap, publik mulai mempertanyakan integritas dan keadilan sistem peradilan. Pemberian hukuman yang dianggap tidak proporsional dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat.

Prof. Arief menekankan pentingnya menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Ia mengingatkan bahwa setiap putusan harus transparan dan berada di bawah prinsip keadilan, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak relevan, seperti kesopanan. "Proses hukum kita harus objektif dan tidak boleh terpengaruh oleh norma-norma sosial yang tidak ada hubungannya dengan substansi kasus," pungkasnya.

Kesimpulan

Kasus Harvey Moeis menjadi sorotan dan banyak pelajaran penting yang dapat diambil. Kesopanan yang ditampilkan di persidangan seharusnya tidak dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman pidana. Dalam penegakan hukum, keadilan harus tetap menjadi prioritas utama agar kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan tetap terjaga. Hal ini juga menjadi tantangan bagi sistem peradilan Indonesia untuk terus menerus meningkatkan prosedur dan transparansi dalam setiap kasus yang dihadapi.

Berita Lainnya