Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatkan pentingnya pendekatan ilmiah dalam penyidikan kasus pelecehan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas berinisial IWAS di Mataram, Nusa Tenggara Barat. KPAI menegaskan bahwa penanganan kasus ini harus melibatkan metode scientific crime investigation guna menguatkan pengungkapan fakta-fakta di lapangan.
Perlunya Pendekatan Ilmiah
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan secara daring, anggota KPAI, Dian Sasmita, menyatakan bahwa tidak seharusnya kasus ini hanya mengandalkan pengakuan dari pelaku semata. "Perlu sekali dikembangkan pendekatan scientific crime investigation, agar dapat mengungkap kasus ini dengan lebih mendalam," ujarnya.
Sasmita menekankan pula pentingnya keterampilan khusus untuk menelusuri berbagai bukti yang ada, sehingga proses hukum bisa berjalan lebih transparan dan akuntabel. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang tidak hanya adil bagi korban, tetapi juga bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus hukum tersebut.
Pendampingan Psikologis bagi Korban
KPAI juga menyoroti perlunya pendampingan psikologis yang optimal untuk semua korban, baik yang berusia anak maupun perempuan dewasa. Menurut Dian, pendampingan tidak cukup hanya dilakukan saat proses hukum berlangsung, tetapi harus berlanjut hingga korban meraih pemulihan yang menyeluruh. "Kami berharap, semua pihak dapat bersama-sama mendukung pemulihan psikis korban sehingga mereka bisa kembali menjadi individu yang lebih baik," tuturnya.
Detail Kasus IWAS
IWAS, seorang pria berusia 21 tahun yang merupakan penyandang disabilitas, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemerkosaan mahasiswi berinisial MA di Mataram, NTB. Penetapan status tersangka dilakukan berdasarkan dua alat bukti dan keterangan dari ahli.
Saat ini, berkas perkara dugaan pelecehan seksual tersebut sudah dilimpahkan dari Polda NTB ke Kejaksaan Tinggi NTB pada tahap 1. Berkas tersebut kini tengah diteliti oleh Jaksa Peneliti untuk memastikan kelengkapan aspek formil dan material.
Korban dan Modus Operandi
Dari informasi yang didapat, sudah ada tiga korban dalam kasus pelecehan seksual ini. Dua orang di antaranya telah memberikan keterangan sebagai bagian dari kelengkapan berkas. Modus tindakan IWAS ternyata memanfaatkan keterbatasan fisiknya sebagai penyandang disabilitas. Ia menggunakan komunikasi verbal sebagai senjata untuk memengaruhi sikap dan psikologi para korban.
Sebagai sebuah entitas yang peduli terhadap hak-hak anak dan perempuan, KPAI menginstruksikan agar semua proses penanganan kasus ini dilakukan secara hati-hati dan berpedoman pada undang-undang yang berlaku, termasuk pada perlunya penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Aksi Lanjutan dari KPAI
KPAI berkomitmen untuk terus memantau perkembangan kasus ini dan akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum demi memastikan bahwa proses penanganan kasus pelecehan seksual ini berlangsung dengan adil. Melalui langkah-langkah yang lebih sistematis dan ilmiah, diharapkan masalah-masalah mendasar dalam kasus seperti ini bisa teratasi secara efektif.
KPAI juga mendorong masyarakat untuk lebih peka dan aktif dalam mendukung korban pelecehan seksual, dengan memberikan ruang aman bagi mereka untuk berbicara dan mendapatkan bantuan.
Kesimpulan
Kasus yang melibatkan IWAS memberikan pelajaran berharga tentang perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dalam penyelidikan kasus-kasus sensitif seperti ini. Melalui pendekatan ilmiah yang tepat dan dukungan psikologis yang memadai, diharapkan semua korban dapat pulih dan mendapatkan hak-hak mereka yang terabaikan. KPAI dengan tegas mengingatkan semua pihak akan tanggung jawab yang harus diambil untuk melindungi generasi penerus bangsa dari segala bentuk kekerasan.