Persoalan hukum di Indonesia kembali mencuat dengan adanya judicial review yang diajukan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata terkait Pasal 36 huruf a Undang-Undang KPK. Pasal ini mengatur larangan pimpinan KPK untuk mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang memiliki hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi. Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai bahwa norma dalam pasal tersebut sebenarnya sudah tepat untuk melindungi KPK dari potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Norma yang Tepat untuk KPK
Zaenur berargumen bahwa dengan kewenangan besar yang dimiliki KPK, lembaga ini rentan terhadap penyalahgunaan. Dalam konteks ini, pertemuan dengan pihak-pihak yang berperkara dapat berpotensi merugikan integritas KPK itu sendiri. "Norma di dalam Undang-Undang KPK ini lebih melindungi KPK dari potensi penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap interaksi antara pegawai KPK dan pihak berperkara perlu diatur secara ketat untuk mencegah konflik kepentingan.
Pengecualian dalam Kepentingan Dinas
Namun, Zaenur juga mencatat bahwa norma tersebut bukanlah tanpa pengecualian. Pertemuan yang dibuat dalam kepentingan dinas resmi, seperti memberikan surat panggilan atau mengurus perkara lain yang berkaitan dengan tugas KPK, masih diperbolehkan. "Pertemuan yang sifatnya tanpa sengaja, tentu tidak terjerat dengan Pasal 36 UU KPK," jelasnya. Oleh karena itu, pembatasan ini juga memberikan ruang bagi pegawai KPK untuk menjalankan tugasnya tanpa terhambat oleh regulasi yang ketat.
Keadilan Hukum atau Diskriminasi?
Di sisi lain, Alexander Marwata menganggap bahwa pasal tersebut multitafsir dan dapat menimbulkan ketidakjelasan. Ada ketidakjelasan dalam penggunaan frasa ‘pihak lain’ serta makna ‘dengan alasan apa pun’. Ini dapat menjadi celah bagi penyalahgunaan pasal tersebut, baik dalam penegakan hukum maupun terhadap pimpinan KPK sendiri. "Kami meminta agar Mahkamah Konstitusi memperjelas makna dari kata 'perkara' dalam pasal itu," kata Alex.
Kritik pada Penerapan Hukum
Selain itu, Alex menyoroti bahwa definisi yang ambigu tentang frasa ‘dengan alasan apa pun’ dapat membuat pertemuan dalam konteks tugas resmi menjadi problematis. Jika peraturan ini diartikan secara rigid, hal-hal sepele seperti pertemuan di acara publik pun bisa dianggap melanggar, meskipun tidak ada substansi yang dibahas. Menurut Alex, pasal ini juga tidak memberikan kepastian hukum bagi Komisioner KPK dan memberikan diskriminasi terhadap lembaga KPK dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.
Proses Penyidikan di Polda Metro Jaya
Situasi semakin rumit setelah Alexander Marwata dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait pertemuan dengan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Pertemuan tersebut terjadi di tengah sorotan publik setelah Eko dipertanyakan terkait kekayaan yang dipamerkannya di media sosial. KPK akhirnya menetapkan Eko sebagai tersangka kasus gratifikasi dan juga tindak pidana pencucian uang pada April 2024.
Polda Metro Jaya juga telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk memeriksa puluhan saksi untuk mendalami kasus ini. Rencananya, polisi akan gelar perkara untuk mengetahui kelayakan kasus ini untuk naik ke tahap penyidikan.
Arah Ke Depan untuk KPK
Di tengah berbagai kontroversi ini, penting bagi publik dan institusi penegak hukum untuk memahami dan mengawasi implementasi setiap regulasi. Klarifikasi serta revisi terhadap pasal-pasal yang dianggap multitafsir akan sangat membantu dalam memperkuat integritas KPK.
Belum ada keputusan resmi dari Mahkamah Konstitusi terkait gugatan ini, namun hal ini membawa dampak signifikan terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah yang diharapkan mampu bekerja secara transparan dan akuntabel. Di saat yang sama, perlu ada dialog konstruktif antara KPK, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait untuk mencapai kesepakatan yang sehat demi menjaga keadilan dan kepentingan publik dalam dalam upaya pemberantasan korupsi.