Situasi di dalam pemerintahan pasca-pergantian Presiden dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto menyisakan sejumlah persoalan, salah satunya adalah surat presiden (supres) terkait calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, mengungkapkan bahwa surat yol yang dilayangkan oleh mantan Presiden Joko Widodo berpotensi untuk dipermasalahkan di ranah hukum.
Pembahasan Supres di DPR
Sudding menekankan bahwa penggunaan supres dari Jokowi dalam proses seleksi calon pimpinan KPK bisa jadi masalah, dan menjelaskan bahwa pimpinan DPR telah mengagendakan rapat Badan Musyawarah guna membahas isu ini secara mendalam. Dalam rapat tersebut, DPR juga berencana untuk mengonfirmasikan kepada Presiden Prabowo mengenai langkah selanjutnya, apakah akan mengeluarkan supres baru atau tetap menggunakan yang sudah ada dari Jokowi.
Protes Terhadap Panitia Seleksi Jokowi
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengemukakan pandangannya tentang keabsahan pansel capim KPK yang dibentuk oleh Jokowi. Ia berpendapat bahwa pansel tersebut tidak sah, dengan dasar bahwa Presiden Jokowi tidak lagi berwenang untuk membentuk panitia seleksi yang baru. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan dan legitimasi dari calon yang diajukan ke DPR.
Upaya Hukum terkait UU KPK
Menanggapi situasi ini, Boyamin juga mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai KPK. Ia meminta MK untuk menafsirkan ulang pasal tersebut secara lebih spesifik, terutama berdasarkan pada Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022, yang menegaskan bahwa presiden hanya memiliki hak untuk membentuk pansel capim KPK satu kali. Menurut Boyamin, seharusnya yang berhak membentuk pansel KPK periode 2024-2029 adalah Presiden Prabowo yang baru dilantik.
Legitimasi Pimpinan KPK
Jokowi telah mengirim surat presiden tertanggal 15 Oktober 2024 kepada DPR yang memuat nama-nama calon pimpinan dan dewan pengawas KPK. Namun, hingga kini, Ketua DPR Puan Maharani belum memproses nama-nama tersebut dengan alasan menunggu pengumuman kabinet pemerintahan yang baru. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kebingungan publik terkait dengan proses seleksi pimpinan KPK yang baru.
Kekhawatiran Hukum di Balik Penggunaan Supres Jokowi
Pakar Hukum Tata Negara, Herdiansyah Hamzah, menyampaikan pendapatnya mengenai potensi gugatan hukum yang mungkin terjadi di antara calon pimpinan KPK hasil seleksi Jokowi. Ia berargumen bahwa jika daftar calon pimpinan KPK yang ditetapkan oleh Jokowi tetap dipaksakan oleh Prabowo, tindakan tersebut akan bertentangan dengan Putusan MK dan dapat dipertanyakan legitimasi hukumnya. Hal ini tentunya menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh para tersangka korupsi yang sedang diusut oleh KPK.
Kesimpulan: Pentingnya Legitimasi dalam Seleksi KPK
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, legitimasi lembaga dan individu yang memimpin KPK sangatlah penting. Jika proses seleksi tidak berjalan sesuai dengan mekanisme hukum yang ada, maka hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas lembaga antikorupsi tersebut. Dengan adanya berbagai protes dan gugatan yang muncul, menjadi tugas para pejabat dan legislator untuk memastikan bahwa proses ini berlangsung transparan, sah, dan sesuai ketentuan yang berlaku.
Oleh karena itu, langkah-langkah strategis perlu diambil oleh DPR dan Presiden Prabowo untuk menyikapi persoalan ini agar tidak menimbulkan implikasi hukum di kemudian hari dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.