Kupang - Dalam suasana menjelang Pilkada 2024, tantangan besar menuju netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali mencuat. Salah satu contoh terjadi di Flores Timur, di mana Antonius Amuntoda, seorang ASN yang menduduki jabatan Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, diundang untuk memberikan klarifikasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Antonius, yang berusia 46 tahun, menegaskan komitmennya untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik menjelang pilkada. “Saya punya isteri dan anak-anak. Saya tidak mungkin mengkhianati karier saya sebagai ASN dalam urusan Pilkada yang hanya berlangsung lima tahun sekali ini. Apalagi saya masih terlalu muda,” ungkapnya. Pernyataan ini diungkapkan saat ia menerima surat panggilan kedua dari Bawaslu, terkait dugaan keberadaan dirinya berinteraksi dengan calon Wakil Gubernur NTT.
Dugaan Pelanggaran Netralitas
Amuntoda diduga berada di Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) Amagarapati saat salah satu calon Wakil Gubernur NTT berkunjung. Walaupun ia mengakui ada interaksi tersebut, ia menekankan bahwa ia hanya menjalankan tugasnya sebagai ASN. “Saya anggap semua yang datang ke kantor adalah nelayan dan kami harus menerima dan melayani. Tidak ada kegiatan apapun yang berhubungan dengan kampanye,” tutur Amuntoda.
Pungutan suara dan pelaksanaan pilkada sudah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Netralitas ASN seringkali dipertanyakan, terutama ketika ada dugaan keterlibatan dalam aktivitas politik. Hal ini menjadi semakin kontras dengan penekanan yang diberikan kepada ASN untuk mempertahankan sikap netral dalam proses politik.
Perspektif Pengamat Politik
Pengamat politik, yang juga mengajar di Universitas Katolik Widya Mandira, Mikhael Raja Muda Bataona, menyatakan bahwa netralitas ASN adalah hal yang paradoks. “Mereka adalah warga negara yang memiliki hak pilih, tetapi di sisi lain, mereka diwajibkan untuk netral saat kampanye. Ini tentu rumit,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pecahnya netralitas ASN harus dilihat dari semua lapisan, tidak hanya para bawahan tetapi juga para pemimpin birokrasi. Dalam struktur birokrasi, ada risiko bahwa para pemimpin bisa memanfaatkan bawahannya untuk kepentingan politik tertentu, menimbulkan potensi conflict of interest.
Mewujudkan Netralitas Melalui Pengawasan
Di sisi lain, pengawasan menjadi salah satu kunci untuk menjaga netralitas ASN. Pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh Bawaslu, tetapi juga oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), serta keterlibatan publik menjadi penting. Pengawasan publik akan memastikan bahwa setiap tindakan ASN tidak melanggar prinsip netralitas yang diamanatkan.
Tanpa adanya pengawasan yang ketat, risiko penyimpangan dalam pelaksanaan pemilu semakin tinggi. Politisi kerap mencoba memanfaatkan posisi ASN untuk mendorong voting pro-pasangan calon tertentu. Oleh karena itu, pengawasan yang lebih ketat diperlukan untuk menjaga integritas dan profesionalisme ASN.
Pentingnya Kesadaran Moral
Penting untuk dicatat bahwa tuntutan moral dan etis bagi pejabat negara lebih signifikan dibandingkan dengan pekerjaan biasa. Kesadaran moral dalam menjalankan fungsi sebagai ASN harus dijunjung tinggi agar setiap tindakan yang diambil dapat berkontribusi positif terhadap proses demokrasi.
Pemimpin daerah yang memiliki kekuasaan lebih besar perlu dipastikan benar-benar menjaga sikap netral, mengingat posisi mereka yang sangat berpengaruh dalam proses pemilihan. Oleh karena itu, perlu ada aturan yang jelas dan ketat yang mengatur perilaku politik para pejabat daerah.
Kesimpulan
Menyongsong Pilkada 2024, penting bagi setiap ASN untuk menegaskan sikap netralitasnya. Dalam konteks ini, kolaborasi antara lembaga pengawas dan partisipasi masyarakat menjadi kunci utama untuk meminimalisir praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Dengan dukungan pengawasan yang kuat, diharapkan pemilu kali ini dapat berlangsung dengan transparan dan bebas dari intervensi politik yang merugikan.